Menapaki Jejak Pahlawan Surabaya

Moalila - vleopos.com

MENAPAKI JEJAK PAHLAWAN SURABAYA

VLEOPOS - Hari ini menjadi peringatan mengenang jasa pahlawan khususnya bagi 'arek-arek Suroboyo'. Tak hanya keindahan kota yang menawarkan sejuta pesona, Surabaya juga banyak menyimpan kenangan tempo dulu.

Surabaya mendapat julukan sebagai Kota Pahlawan. Menjadi istimewa, karena hanya Surabaya saja yang mendapatkannya. Banyak kota lain di negeri ini yang memiliki sejarah kepahlawanan tak kalah hebat dari Surabaya. Namun julukan sebagai Kota Pahlawan hanya untuk Surabaya.

Beberapa nama dan peninggalannya yang masih bisa ditemukan oleh Surabaya City Guide (SCG), di antaranya sejarah rumah WR. Soepratman, rumah lahir Bung Karno, Gedung Nasional Indonesia (GNI) simbol dari Bapak Pergerakan Indonesia, Dr. Raden Soetomo, rumah HOS Cokroaminoto. Dan sebuah kampung bersejarah bernama Kalimas Udik, di sini tinggal KH. Mas Mansur, seorang tokoh islam dan pahlawan nasional Indonesia.

Kehadiran situs sejarah, hiburan dan khasanah budaya menjadi sungguhan luar biasa, jika mengunjungi kota yang dijuluki sebagi kota pahlawan itu.

Sebagai rakyat Indonesia tentu kita pernah mendengar cerita perjuangan Bung Tomo dan kaum muda Surabaya saat memberontak dari penjajah. Di usia yang 721, Surabaya semakin memancarkan pesona dan memikat para wisatawan untuk menelusuri mozaik perjuangan para pahlawan pembela bangsa.

Jika tertarik mengunjungi dan ingin mengenang jasa-jasa para pahlawan, Anda bisa mulai menelusuri museum 10 November. Kompleks Tugu Pahlawan terdapat beribu-ribu jenis tumbuh-tumbuhan khas Indonesia, rumah Pahlawan Nasional H.O.S Cokroaminoto, dan masih banyak lainnya. Kegiatan ini dinamakan "Road to Hero" Surabaya.

Rangkaian perjalanan Road to Hero ini dimulai dari Tugu Pahlawan. Tugu Pahlwan merupakan ikon Kota Surabaya. Tugu Pahlawan terletak di tengah kota Surabaya dan letaknya berdekatan dengan Kantor Gubernur Jawa Timur dan Bank Indonesia. Tugu Pahlawan memiliki 10 buah lengkungan (canalurus) yang terbagi dalam 11 ruas dengan tinggi 45 yard. Ketiga hal tersebut melambangkan tanggal 10 bulan 11 tahun 45, sebuah tanggal yang menorehkan sejarah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Tugu Pahlawan yang berdiri di atas lahan seluas 1,3 hektar ini dibangun untuk mengenang Arek-arek Suroboyo yang tewas dalam pertempuran di bulan November 1945. Di dalam kompleks tugu pahlawan terdapat Museum 10 November. Museum yang didirikan pada tahun 1991 dan baru difungsikan pada tahun 1998 ini menyimpan kepingan-kepingan perjuangan arek-arek Suroboyo. Arsitektur bangunan Museum 10 November terbilang sangat unik, bangunannya tertanam ke dalam tanah dan yang muncul hanya bagian atap museum yang berbentuk piramid. Museum sengaja dibangun seperti ini agar kehadirannya tidak menandingi pesona Tugu Pahlawan, sebagai magnet utama kompleks ini.

Di dalam museum kita dapat melihat foto-foto Surabaya tempo dulu, replika patung-patung perjuangan, diorama, dan benda-benda bersejarah yang menjadi saksi bisu perjuangan pahlawan Indonesia. Di tengah-tengah museum terdapat patung replika peperangan, guratan semangat di wajah patung pejuang ini seolah-olah membawa kita masa peperangan yang mencekam.

Selain Museum 10 November, kompleks Tugu Pahlawan juga memiliki magnet bagi pencinta tumbuh-tumbuhan dan ahli botani. Disekeliling kompleks tugu pahlawan terdapat beribu-ribu jenis tumbuh-tumbuhan khas Indonesia, beberapa diantaranya merupakan tumbuhan langka seperti pohon jenis Bisbul (Diospyros blancoi A. DC.), Kigelia Pinnata, Kepel (Stelechocarpus burahol), Tanjung (Mimusops Elengi L), Pagoda, Kepuh (Sterculia foetida), Sawo Kecik (Manilkara kauki), Kedondong (Spondias dulcis) dan sebagainya. Penataan yang rapi dan perawatannya yang terjaga dengan baik membuat kompleks Tugu Pahlawan sedap dipandang mata.

Puas menghayati semangat perjuangan di setiap sudut kompleks Tugu Pahlawan kami melanjutkan perjalanan Road to Hero menuju rumah Pahlawan Nasional H.O.S Cokroaminoto. Membutuhkan waktu tidak lebih dari lima belas menit untuk menginjakan kaki di kawasan kediaman H.O.S. Cokroaminoto yang berada di Jalan Peneleh VII 29-31 ini. Rumah bergaya Jawa-Belanda yang bercat hijau-kuning ini tampak begitu asri, perabotan-perabotan di dalamnya begitu terawat dan tertata dengan apik.
Rumah yang memiliki tiga kamar tidur ini dengan satu ruangan berada di belakang ruang tamu dan dua lainnya berdampingan berada di sisi kiri ruang tamu ini, merupakan rumah yang dibeli H.O.S Cokroaminoto dari seorang saudagar berdarah Arab. Bersama istrinya, R.A. Ruhasikin, rumah ini tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal H.O.S Cokroaminoto dengan keluarganya saja tetapi juga digunakan sebagai indekost bagi pelajar-pelajar Hoogere Burgelijks School. Di rumah ini H.O.S Cokroaminoto mengajarkan nilai-nilai agama dan menyampaikan pemikiran-pemikirannya dalam hal politik agar bangsa Indonesia terlepas dari jeratan Belanda.

Rumah yang menjadi saksi bisu pergerakan H.O.S Cokroaminoto dengan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) ini memiliki sebuah ruangan rahasia di bagian atasnya. Ruangan ini terbilang cukup luas dan cukup untuk menampung kader-kader pergerakan H.O.S Cokroaminoto. Di ruangan ini H.O.S Cokroamino mengajarkan ilmu-ilmu dan pandangan-pandangan yang dimilikinya kepada pejuang-pejuang bangsa Indonesia dan kader-kader partainya.

Walaupun rumah H.O.S Cokroaminoto sudah tidak difungsikan lagi sebagai hunian, namun rumah ini tetap tertata rapi, bersih, dan begitu terawat. Perabotan dan hiasan-hiasan ditata sesuai dengan penataan aslinya agar tidak mengurangi nilai sejarahnya. Namun perabotan dan foto-foto di rumah H.O.S Cokroaminoto ini merupakan replika dan yang asli tersimpan rapi oleh ahli warisnya.

Satu hal lagi yang menarik dari rumah ini, Bapak Proklamator RI, Bung Karno, pernah tinggal di sini. Bung Karno bersama tokoh-tokoh nasional lainnya seperti Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Tan Malaka, Semaun, Darsono, Muso serta Alimin pernah tinggal di sini dan menjadi murid H.O.S Cokroaminoto. Di rumah ini mereka digembleng dengan pandangan dan ilmu yang dimiliki H.O.S Cokroaminoto. Pada akhirnya tokoh-tokoh ini memiliki pandangan berbangsa dan bernegara yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bung Karno menjadi seorang nasionalis, Kartosuwiryo berpegang teguh pada Islam konserfatif, Semaun-Darsono menjadi seorang sosialis, serta Muso-Alimin mengubah pendiriannya menjadi komunis.

Sungguh menakjubkan sejarah yang ditorehkan rumah di Jalan Paneleh VII ini, pemikiran-pemikiran yang lahir dari kediaman mungil nan sederhana ini dapat menyumbang perubahan untuk bangsa dan negara. Wajar saja jika kediaman H.O.S Cokroaminoto abad XIX sesuai SK Walikota Surabaya nomor 188.45/251/402.1.04/1996 nomor urut 55 dijadikan sebagai bangunan cagar budaya oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surabaya.

Puas bernostalgia dengan bekas hunian tokoh-tokoh nasional bangsa Indonesia, selanjutnya rombongan bergerak menuju makam W.R. Soepratman yang terletak di Jalan Kenjeran. Letaknya yang strategis tepat berada di sisi jalan, memudahkan rombongan kami untuk menuju lokasi ini. Kami pun segera memasuki gerbang makam pencipta lagu kebangsaan bangsa kita ini.

Tiba-tiba langkah kami dikejutkan dengan suara lantang salah seorang peserta yang menyuarakan sebuah lirik lagu “Indonesia tanah airku”, sebuah lagu yang tak asing ditelinga kami, lagu Indonesia Raya. Tanpa komando rombongan yang lain ikut ambil suara menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan semangat penuh gelora. Kami pun hanyut terbawa suasana hingga tak terasa langkah kami sudah sampai di pelataran utama makam W.R. Supratman.

Di pelataran ini terdapat patung W.R. Supratman yang sedang bermain biola dengan latar belakang sebuah prasasti yang berisi tiga bait lirik lagu Indonesia Raya. Di sisi kiri pelataran terdapat sebuah prasasti pula yang bertuliskan kisah hidup W.R. Supratman mulai tahun 1903, kelahirannya, hingga 1938, akhir hayatnya. Di sisi kanan pelataran terdapat sebuah joglo dan di sinilah jasad W. R. Supratman disemayamkan. Makam W. R. Supratman yang dibalut marmer putih dengan siluet biola di bagian tengah membuat makam ini tampil mempesona dan jauh dari kesan seram, seperti anggapan makam-makam pada umumnya.

W.R. Supratman meninggal diusia 35 tahun pada tanggal 17 Agustus 1938 pukul 12 malam di kediaman Roekijem Soepratijah, kakak W.R. Supratman, di jalan Mangga 21 Surabaya. Semula jasad W.R. Supratman di makamkan di TPU Kapas, sebelah utara jalan Kenjeran Surabaya. Pada tanggal 20 Mei 1953, barulah makam W.R. Soepratman dipindahkan ke lokasi yang sekarang ini, pojok jalan Tambak Segaran wetan, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, di sebelah selatan Jalan Kenjeran Surabaya. Mulai tanggal 15 September 2000 dan selesai pada tanggal 9 Maret dilakukan pemugaran makam W.R. Soepratman.

Tak terasa matahari mulai condong ke arah timur, rombongan Road to Hero kembali melanjutkan perjalanan menuju tujuan terakhir, makam Bung Tomo. Sengatan matahari Surabaya yang semakin menusuk kulit tidak menggentarkan langkah kami untuk menyusun mozaik perjuangan pahlawan bangsa di kota pahlawan ini. Tiba-tiba bis yang kami tumpangi menghentikan lajunya tepat di depan pemakaman umum yang berada di Jalan Ngagel. Ada apakah gerang? Tanya saya dalam hati, mungkin ada peserta yang minta diturunkan di sini karena mendadak ada keperluan atau apa, saya mencoba menerka-nerka sendiri. Tak lama seorang panitia yang merangkap sebagai pemandu perjalanan ini mengumumkan bahwa kami telah sampai di tujuan terakhir, makam Bung Tomo. Sontak saya pun terkejut, terjawab sudah pertanyaan saya sebelumnya, ternyata di pemakaman umum inilah tokoh yang amat berperan dalam peristiwa 10 November 1945 disemayamkan.
Arek Suroboyo yang bernama asli Sutomo ini lahir di kawasan Kampung Blauran Surabaya pada 3 Oktober 1920 dan menghembuskan nafas terakhirnya pada 7 Oktober 1981 ketika menunaikan ibadah haji.

Namanya tidak bisa lepas dari peristiwa 10 November 1945. Pidatonya yang berapi-api mampu membakar semangat pemuda-pemuda Surabaya untuk memerangi kesewenang-wenangan NICA. Baru setelah 63 tahun peristiwa bersejarah tersebut terjadi, akhirnya bertepatan dengan peringatan hari Pahlawan 10 November 2008 Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Tomo.
Inilah akhir dari perjalanan “Road to Hero”, sebuah perjalanan yang tidak sekadar jalan-jalan saja, namun sebuah perjalanan yang mampu mengembalikan roh kebangsaaan kepada kami, mahasiswa, generasi penerus bangsa. Perjalanan ini menyusun kembali kepingan-kepingan sejarah bangsa Indonesia yang telah tertanam kuat dalam benak.

Sesungguhnya kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan bukanlah tujuan utama para pahlawan bangsa dalam membela tanah air. Mereka rela dan ikhlas menyumbangkan jiwa dan raganya demi kepentingan Indonesia. Tujuan mereka hanya satu yakni meujudkan Indonesia yang adil, makmur, damai, sentosa, dan sejahtera. Tugas mereka telah usai dan kini saatnya kita, generasi muda, melanjutkan perjuangan mereka guna mewujudkan Indonesia yang jaya.

Itu lah sebagian kisah dari Surabaya, kota pahlawan, kota sejuta kenangan, kota yang menyimpan berjuta-juta sejarah yang tak terlupakan bagi bangsa Indonesia.

Sumber : jualdisurabaya.com

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »
Artikel Terkait:
Facebook
Breaking News close button
Back to top

0 comments

Vleopos adalah berita Ragam Kehidupan dan Inspirasi, Disini Anda bebas bertanya maupun mengutarakan ide, gagasan, opini secara bebas yang tentu tidak termasuk dalam koridor Sara. Dilarang keras titip Link / URL hidup maupun berupa tulisan atau mempromosikan produknya.

Bagaimana Pendapat Anda?
 
Copyright © 2014. Vleopos - All Rights Reserved | Template - Maskolis
Proudly powered by Blogger